James Bender dalam bukunya, "How to Talk Well" (New York; McGray - Hill Book Company Inc., 1994), menyebutkan sebuah cerita tentang seorang petani yang menanam jagung unggulan dan seringkali memenangkan penghargaan.
Suatu hari, seorang wartawan dari koran lokal melakukan wawancara dan menggali rahasia kesuksesan petani tersebut. Wartawan itu menemukan bahwa petani itu membagikan benih jagungnya kepada para tetangganya.
"Bagaimana Anda bisa berbagi benih jagung dengan tetangga Anda lalu bersaing dengannya dalam kompetisi yang sama setiap tahunnya?" tanya wartawan dengan penuh rasa heran dan takjub.
"Tidakkah Anda mengetahui bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari jagung yang akan berbuah dan membawanya dari satu ladang ke ladang yang lain. Jika tetangga saya menanam jagung yang jelek, maka kualitas jagung saya akan menurun ketika terjadi serbuk silang. Jika saya ingin menghasilkan jagung kualitas unggul, saya harus membantu tetangga saya untuk menanam jagung yang bagus pula," jawab petani.
Petani ini sangat menyadari hukum keterhubungan dalam kehidupan. Dia tidak dapat meningkatkan kualitas jagungnya, jika dia tidak membantu tetangganya untuk melakukan hal yang sama.
Dalam kehidupan, mereka yang ingin menikmati kebaikan harus memulai dengan menabur kebaikan pada orang-orang di sekitarnya. Jika Anda ingin bahagia, Anda harus menabur kebahagiaan untuk orang lain. Jika Anda ingin hidup dengan kemakmuran, maka Anda harus berusaha meningkatkan taraf hidup orang-orang di sekitar Anda.
Anda tidak akan menjadi ketua tim yang hebat, jika Anda tidak berhasil meng-upgrade masing-masing anggota tim Anda. Kualitas Anda ditentukan oleh orang-orang di sekitar Anda.
Orang cerdas sejatinya adalah orang yang mencerdaskan orang lain, begitu pula orang yang baik adalah orang yang mau membaikkan orang lain...
Selamat menebarkan kebaikan dimanapun Anda berada...
Bank yang tersebar di negeri banjir itu bernama Grameen. Nasabah yang disasar adalah kaum miskin dan papa Bangladesh. Dalam Bank ini semua orang miskin, juga para pengemis, dapat memperoleh kredit tanpa agunan. Muhammad Yunus, pendiri Bank Grameen, percaya bahwa jika diberi modal, jutaan orang miskin dapat menciptakan keajaiban dengan usaha kecil mereka.
Hingga akhir 2006, Bank Grameen telah mengucurkan kredit kepada hampir 7 juta peminjam di 73000 desa. Para peminjamnya kebanyakan perempuan. Mereka memakai kredit untuk memulai usaha kecil, membangun rumah dan membiayai sekolah. Khusus untuk para pengemis, Bank Grameen menyediakan kredit tanpa bunga. Peminjam boleh membayar kapan pun dengan jumlah berapa pun. Mereka diberi ide agar membawa barang seperti makanan, mainan dan kebutuhan rumah tangga saat mereka meminta-minta dari rumah ke rumah. Lebih dari 85000 pengemis ikut program ini. Pinjaman untuk mereka biasanya sekitar Rp. 120.000,-.
Berkat Bank Grameen, separo lebih nasabah telah melewati garis kemiskinan dan 5000 pengemis berhenti meminta-minta. Yakin bahwa kemiskinan adalah acaman perdamaian, Panitia Nobel 2006 menganugerahkan penghargaan Nobel Perdamaian kepada Muhammad Yunus dan Bank Grammen. "Perdamaian," kata Yunus, "terancam oleh tatanan ekonomi, sosial dan politik yang tidak adil, tiadanya demokrasi, kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia." Dengan memberikan kredit kepada kaum papa, Yunus melawan kemiskinan sebagai langkah awal untuk perdamaian. Bagaimana gagasan kredit tanpa agunan ini muncul?
Semua itu bermula sekitar tigapuluh tahun lalu ketika Bangladesh sedang dilanda kelaparan hebat. Yunus mengajar di salah satu universitas di negerinya. Di ruang kelas ia mengajarkan teori ekonomi yang muluk-muluk dengan antusiasme seorang yang baru lulus dari Amerika Serikat. Namun, selesai mengajar, begitu keluar kelas, ia langsung melihat kerangka hidup berkeliaran di sekelilingnya: orang-orang yang sekarat, tinggal menunggu ajal.
"Saya merasa," tutur Yunus, "Apa pun yang telah saya pelajari, apa pun yang saya ajarkan, hanya merupakan khayalan yang tak punya arti bagi kehidupan orang-orang itu. Karena itu, saya mulai mencoba mengetahui bagaimana orang-orang yang tinggal di kampung sebelah universitas kami itu menjalani kehidupan mereka. Saya ingin tahu apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan sebagai sesama manusia, untuk menunda atau menghentikan kematian, walaupun hanya menyangkut satu orang saja. Saya pun meninggalkan pola pandang seekor burung, yang memungkinkan kita untuk melihat segala-galanya jauh dari atas, dari langit. Saya mulai mengenakan pandangan mata seekor cacing, yang berusaha mengetahui apa yang saja yang terpapar persis di depan mata – mencium baunya, menyentuhnya, dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan."
Yunus pun bertemu dengan seorang ibu yang membuat dingklik dari bambu. Setelah panjang lebar berbicara dengannya, ia menemukan bahwa sehari ibu itu hanya menghasilkan 2 sen dolar Amerika (Rp. 200,-).Yunus tak percaya bahwa seseorang yang dapat bekerja begitu keras dan membuat dingklik bambu dengan begitu indah, memperoleh penghasilan sebegitu kecil.
Rupanya, karena tak punya uang untuk membeli bambu, ibu itu harus meminjam dari seorang pedagang. Orang inilah yang memaksakan seluruh aturan peminjaman: Ibu itu harus menjual dingklik buatannya hanya kepada pedangan itu, dengan harga yang ditentukan olehnya. Maka jelaslah bagi Yunus, bahwa ibu itu tak lain daripada pekerja yang terikat oleh pedagang tersebut. Ketika ditanya, berapa sebenarnya berapa harga bambu itu? Ibu itu bilang, "Oh, sekitar dua puluh sen (Rp. 2.000); atau duapuluh lima sen untuk yang bagus sekali."
Yunus pun berpikir, "Ada orang yang menderita hanya karena tidak punya uang dua puluh sen, dan tak ada sesuatu yang bisa dilakukan?" Nurani Yunus gemuruh dengan suatu pergulatan apakah ia harus memberinya dua puluh sen. Tetapi kemudian sampailah ia pada gagasan lain, yaitu membuat daftar orang-orang yang memerlukan uang seperti itu. Ia kemudian mengajak seorang mahasiswanya keliling kampung selama beberapa hari. Akhirnya mereka memiliki daftar empat puluh dua orang seperti ibu tadi.
"Ketika saya menjumlahkan total uang yang mereka perlukan," tutur Yunus, "Saya mendapat kejutan yang paling besar dalam hidup saya: jumlah total uang itu hanya dua puluh tujuh dolar (Rp.270.000,-)! Pada saat itu saya merasa malu terhadap diri sendiri, karena menjadi bagian dari suatu masyarakat yang tidak bisa menyediakan uang sejumlah dua puluh tujuh dolar, bagi empat puluh dua orang yang memiliki keahlian dan semangat untuk kerja keras.
"Untuk menghapus rasa malu itu, saya mengambil uang dari kantong saya, dan memberikannya kepada mahasiswa saya tadi. Saya katakan, ambilah uang ini dan berikan kepada keempat puluh dua orang yang kita temui itu. Katakan kepada mereka bahwa uang ini adalah pinjaman, dan mereka dapat membayarnya kembali kepadaku kapan saja mereka bisa. Nah, sementara itu mereka dapat menjual produk mereka kepada siapa pun yang akan memberi bayaran yang baik."
Setelah menerima uang itu orang-orang sungguh bersemangat. Melihat itu, Yunus berpikir, tentang apa yang harus dilakukannya sekarang: " Saya berpikir mengenai cabang bank yang ada di kampus universitas kami, dan saya menemui manajernya, serta menyarankan agar dia meminjamkan uang kepada orang-orang yang telah kami temui di kampung kami tadi. Dia kaget, seperti jatuh dari langit! Katanya, 'Anda gila apa? Itu tak mungkin. Bagaimana mungkin kami meminjamkan uang kepada orang-orang miskin? Mereka tidak layak untuk menerima kredit.'"
Yunus membujuknya dan bilang, "Sekurang-kurangnya cobalah, siapa tahu … Toh uang yang bakal terlibat hanya sedikit."Tanggapan yang diperolehnya, "Tidak akan. Aturan kami tidak memungkinkan hal itu. Mereka tidak dapat memberi jaminan, dan jumlah sekecil itu juga tidak layak diberikan sebagai pinjaman." Ia hanya disarankan untuk menemui pejabat yang lebih tinggi, di hierarki perbankan di Bangladesh.
Yunus pun mengikuti saran itu dan menemui orang yang bertugas pada perkreditan. Semua orang mengatakan hal yang sama kepadanya. Setelah beberapa hari berkeliling mencari orang yang dapat diajak bicara, akhirnya ia menawarkan diri sebagai penjamin: "Saya akan menjadi penjamin semua pinjaman itu. Akan saya tandatangani apa pun yang harus saya tandatangani. Setelah mendapat uangnya, saya akan menyerahkan kepada orang-orang yang saya kehendaki."
Jadi, begitulah mulainya. Yunus terus-menerus diingatkan bahwa orang-orang miskin yang menerima uang itu tidak akan mengembalikannya. "Herannya," tutur Yunus, "mereka mengembalikan setiap sen kepada saya. Saya jadi amat bersemangat, dan kembali lagi kepada manajer bank tadi, 'Lihat, mereka membayar pinjaman mereka; jadi tak bakal ada masalah!'"
Tetapi manajer bank itu bilang, "Ah, jangan mudah tertipu. Mereka sedang membodohi Anda. Coba saja, mereka pasti akan segera meminjam uang lebih besar, dan tak akan pernah mengembalikan kepada Anda."
Yunus menerima tantangan itu: "Saya pinjamkan uang lebih besar, dan pada saatnya mereka mengembalikan pinjaman mereka. Saya ceritakan hal ini kepada manajer tadi, tapi katanya, 'Yah, barangkali Anda bisa melakukan hal ini di satu desa, tapi kalau Anda melakukannya untuk dua desa, ini tidak akan jalan.'"
Yunus segera melakukannya untuk dua desa – dan ternyata jalan. Begitulah, akhirnya seakan-akan terjadi pergulatan antara dirinya dengan manajer bank tadi, juga sejawatnya di posisi struktural yang lebih tinggi. Mereka terus mengatakan bahwa itu tak akan jalan untuk jumlah yang lebih besar, misalnya lima desa. Karena itu, Yunus melakukannya untuk lima desa, dan ternyata setiap orang mengembalikan pinjamannya. Orang-orang bank tadi masih saja tak mau menyerah. Mereka bilang, "Sepuluh desa. Lima puluh desa. Seratus desa."
Jadilah semacam perlombaan di antara Yunus dan mereka. Setiap kali ia datang kepada mereka, membawa hasil yang tentu tak mereka tolak, karena uang itu adalah uang mereka, tetapi tetap saja mereka tidak menerima ide Yunus, karena mereka dididik dengan pemahaman bahwa orang miskin tidak layak mendapat pinjaman. Menurut mereka, orang miskin tidak bisa diandalkan. "Untungnya, saya tidak dididik seperti itu," tutur Yunus.
Akhirnya muncul gagasan dalam benak Yunus: "Kenapa saya harus berusaha membuat mereka yakin? Saya sendiri amat percaya bahwa orang miskin dapat mengambil uang pinjaman dan membayarnya kembali. Kenapa tidak mendirikan bank sendiri? Gagasan ini membuat saya bersemangat, maka saya menulis proposal dan menghadap pemerintah untuk mendapat izin untuk mendirikan bank. Saya memerlukan waktu dua tahun untuk meyakinkan pemerintah."
Akhirnya, pada tanggal 2 Oktober 1983 berdirilah Bank Grameen, Bank Orang Miskin. "Betapa bersemangatnya kami semua, ketika kami memiliki bank kami sendiri, dan kami dapat melakukan ekspansi sekehendak kami. Dan Nyatanya kami terus berkembang."
(Stephen R. Covey, The 8th Habit: Melampaui Efektivitas Menanggapi Keagungan (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 12-18)
Jack Canfield, penulis "Chicken Soup For The Soul", pernah bercerita bahwa ia pernah mengadakan sebuah pesta kostum di saat ia masih muda.
Aturan dress code dalam pesta itu cukup unik, yaitu tiap orang yang menghadiri pesta harus menggunakan pakaian seolah-olah seperti apa yang mereka inginkan terjadi dalam 5 tahun mendatang.
Misalnya dalam 5 tahun kemudian ada yang ingin menjadi pengusaha, artis, seniman, lawyer, dokter atau apa saja, maka ia harus mengenakan kostum seperti yang ia inginkan. Acara berlangsung meriah, seru dan unik.
Bertahun-tahun kemudian, Jack Canfield melihat-lihat kembali foto-foto masa mudanya, ia merasa kaget dan merinding karena ia sadar bahwa saat ini sebagian besar teman-temannya menjadi sama persis dengan kostum yang dulu mereka kenakan saat pesta.
Kebenaran apa yang kita dapatkan dari cerita di atas? Kita akan menjadi sama persis dengan apa yang kita impikan, harapkan dan yang kita perkatakan setiap harinya.
Jika kita melihat diri kita secara negatif, maka akan jadi seperti itulah diri kita.
Sebaliknya jika kita melihat, mengharapkan dan memperkatakan yang positif, maka seperti itu juga yang akan kita alami. Dalam bahasa rohani, itulah yang disebut dengan dimensi iman.
Kita belum melihat sesuatu terjadi nyata, namun kita sudah mempercayainya dalam hati dan pikiran kita, sehingga suatu hari kelak itu akan terjadi.
Betapa dahsyatnya pikiran kita! The power of mind! Itulah sebabnya izinkan Tuhan memenuhi dan menguasai pikiran kita. Kuatkan iman dan pengharapan kita pada Tuhan.
Berdoalah agar kita mengetahui apa rencana Tuhan dalam hidup kita, setelah itu hidupi rancangan Tuhan itu terus menerus. Mimpikan, imani dan lakukan, maka itulah yang terjadi.
Berjalan di dalam TUHAN. Tidak ada yang mustahil di tahun 2012! Let’s impossible make it possible!
Tahukah Anda, jika kita masukan seekor burung elang dalam sebuah kandang ukuran 2 x 2,5 M dan bagian atapnya terbuka sekalipun, tetap elang itu tidak bisa terbang.
Ternyata elang akan memulai terbang dari tanah dengan berlari sejauh 3 - 3,5 M. Tanpa tempat untuk berlari, elang ini tidak akan mampu terbang dan terjebak selamanya dalam kandang kecil tanpa penutup.
Tahukah Anda, jika seekor lebah yang jatuh ke dalam cangkir kopi yang terbuka, juga akan tetap di sana sampai mati, kecuali jika karena tidak tega Anda keluarkan dia.
Lebah tidak pernah lihat jalan keluar pada bagian atasnya, melainkan terus berusaha cari jalan keluar lewat pinggir dekat dasarnya, cari jalan di mana tidak ada jalan, hingga ia menghancurkan diri sendiri.
Nah... Ternyata banyak dari kita, juga seperti burung elang dan lebah itu:
- Bergumul dengan masalah.
- Fokus terus dengan masalah.
- Mengeluh terus sampai akhirnya frustasi sendiri.
Sadarilah bahwa jawaban dari masalah kita adalah selalu di atas, yaitu Tuhan. Menengadahlah. Ucapkanlah doa dan lepas landaslah dalam bertindak mencari solusi. Lakukan lagi dan terus berjuang! Selalu akan ada pengharapan yang baru dalam hidup!
Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang di dunia, dapat mencapai 70 tahun, tetapi untuk mencapai umur itu seekor elang harus membuat keputusan besar pada umurnya yang ke-40.
Saat umur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruh menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dada. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal, sehingga menyulitkan saat terbang. Saat itu, ia hanya mempunyai 2 pilihan: menunggu kematian atau menjalani proses transformasi yang menyakitkan selama 150 hari.
Saat melakukan transformasi itu, ia harus berusaha keras terbang ke atas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang di tepi jurang, berhenti dan tinggal di sana selama proses berlangsung.
Pertama ia harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, kemudian menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan menyakitkan.
5 bulan kemudian, bulu-bulu yang baru sudah tumbuh. Ia mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, ia mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi!
Dalam kehidupan, kadang kita juga harus melakukan suatu keputusan yang besar untuk memulai sesuatu proses pembaharuan. Berani membuang kebiasaan-kebiasaan lama yang mengikat, meskipun itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan melenakan.
Hanya bila kita bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk belajar hal-hal baru, kita mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kita yang terpendam, mengasah keahlian kita sepenuhnya dan menatap masa depan dengan penuh keyakinan!
Tantangan terbesar untuk berubah ada di dalam diri sendiri dan kitalah sang penguasa atas diri kita sendiri.
Orang terkaya No. 2 di dunia, Warren Buffet memberi nasehat:
"Jauhkan dirimu dari pinjaman bank atau kartu kredit dan berinvestasilah dengan apa yang kau miliki, serta ingat:
1.Uang tidak menciptakan manusia, manusialah yang menciptakan uang.
2.Hiduplah sederhana sebagaimana dirimu sendiri.
3.Jangan melakukan apapun yang dikatakan orang, dengarkan mereka, tapi lakukan apa yang baik saja.
4.Jangan memakai merk, pakailah yang benar-benar nyaman untukmu.
5.Jangan habiskan uang untuk hal-hal yang tidak benar-benar penting.
6.Jangan terlena asuransi, karena uangmu mati dan tidak bisa digunakan dalam waktu 10 tahun! Baiknya buka rekening baru dan buat asuransi kreasimu sendiri.
7.With money:
You can buy a house, but not a home.
You can buy a clock, but not time.
You can buy a bed, but not sleep.
You can buy a book, but not knowledge.
You can get a position, but not respect.
You can buy blood, but not life.
So find your happiness inside you.
8.Jika itu telah berhasil dalam hidupmu, berbagilah dan ajarkanlah pada orang lain.
"Orang yang berbahagia bukanlah orang yang hebat dalam segala hal, tapi orang yang bisa menemukan hal sederhana dalam hidupnya dan mengucap syukur."