ANDA TIDAK PERNAH MENCINTAI PASANGAN/ANAK ANDA



Gobind Vashdev - Apakah Anda mencintai pasangan Anda, atau apakah Anda mencintai anak Anda? Bila Anda berkata "ya", saya punya berita baru untuk Anda semua. Sebagian besar dari kita, tidak mencintai orang lain, termasuk pasangan dan istri kita. Kita hanya mencintai diri kita sendiri, pikiran kita dan gagasan-gagasan kita sendiri. Pemikiran ini awalnya mengejutkan saya ketika saya menyadarinya.
Coba putar kembali rekaman, bagaimana Anda jatuh cinta pada seseorang? Cinta kita jatuh tatkala kriteria kita terpenuhi, bayangan dan harapan kita terwujud.
Bila saya punya imajinasi tentang seseorang wanita yang akan menjadi pendamping saya, yaitu mempunyai tinggi tertentu, wajah yang mirip artis tertentu, kulit dan gelar tertentu, lalu bertemulah saya dengan seseorang yang sama atau mendekati imajinasi tersebut, maka saya langsung jatuh cinta. Beberapa waktu kemudian, di saat berkencan dengannya, obrolannya ngga nyambung, dia bersendawa sehabis makan dan sering buang angin, maka tiba-tiba cinta saya hilang. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang kita cintai? Apakah kita mencintai dia atau pikiran-pikiran kita?
"Selama kamu masih nurut sama Ibu, ibu akan sayang, tapi bila kamu pindah agama, atau kawin dengan orang di luar suku, maka Ibu tidak akan mengakuimu sebagai anak!" inilah transaksi yang dilakukan hampir seluruh penduduk bumi. Kita telah terbuai dengan film dan lagu yang mengkonsepkan makna "cinta" dengan elusan, ciuman, hadiah atau 'perhatian'.
Kalau istri saya mikirin saya yang belum makan seharian, itu bukan cinta, itu adalah kekuatiran atau ketakutan yang bersumber dari ketidaksadaran. Lihatlah, berapa banyak "perhatian" dalam bentuk kekuatiran seorang ibu pada anaknya yang berujung pada kekecewaan, sakit hati atau bahkan pertengkaran.
Cinta bukanlah emosi, ia adalah sebuah tingkat kesadaran, seperti yang disebut oleh pemikir jernih DR. David Hawking, “Love is misunderstood to be an emotion; actually, it is a state of awareness, a way of being in the world, a way of seeing oneself and others.”
Cinta yang selama ini dipahami oleh dunia adalah kemelekatan yang 180° berlawanan dengan cinta itu sendiri. Mereka yang cintanya bangkit dari jatuhnya akan mencintai segalanya, menemukan cinta pada semua makhluk, dan melihat Sang Pencipta sebagai perwujudan cinta tak terbatas.
Dengan indah Jalaluddin Rumi berucap, “The minute I heard my first love story, I started looking for you, not knowing how blind that was. Lovers don't finally meet somewhere. They're in each other all along.” (Pada menit aku mendengar kisah cinta pertamaku, aku mulai mencarimu, tanpa tahu betapa buta aku waktu itu. Para pecinta tidak bertemu di suatu tempat, mereka sudah selalu bersama.)
Kalau kita masih mencintai sekelompok orang atau agama dan membenci yang lain, bisa jadi kita masih terikat pada konsep transaksi yang telah terprogram di kepala kita.
Melihat apa adanya seperti anak kecil yang belum tersekat apakah ia orang Madura atau India, putih atau hitam, Yahudi atau Hindu, tidak ada kebencian di sana, tidak ada konsep ganteng dan cantik. Seperti anak yang kecil yang memiliki cinta, kita lahir dari cinta Pencipta yang tak terbatas. Cinta di dalam diri kita tidak pernah hilang, ia hanya tependam karena beban kebencian, kemarahan, ketakutan dan juga terhalang oleh keakuan diri. Lepaskan semua halangan itu dan temui cinta yang duduk manis menunggumu di sana.
"Your task is not to seek for love, but merely to seek and find all the barriers within yourself that you have built against it." - Rumi. (Tugas kita bukanlah untuk mencari cinta, tapi lebih kepada menemukan dan menyingkirkan penghalang-penghalang yang ada di dalam hati kita, penghalang yang kita buat sehingga menghalangi kita dalam menemukan cinta.)

No comments:

Post a Comment