BELAJAR UNTUK MENJADI TIDAK BAHAGIA


Gobind Vashdev - "Siapa yang merasa masa kecilnya lebih bahagia daripada sekarang?" Walaupun tidak semua, namun sebagian besar orang dewasa peserta seminar mengangkat tangan. Tak lama setelah seminar usai, satu-satu dari peserta bercerita, bahwa dalam kesederhanaan dan keterbatasan yang ada, mereka merasakan jauh lebih bahagia dibanding saat ini dimana semua yang diimpikan sudah tergenggam.
Lalu pertanyaannya, "Apa saja yang kita lakukan selama ini? Mengapa kita merasa semakin jauh dari kebahagiaan itu sendiri? Apakah kita salah arah? Bila iya, mengapa kita tidak berbalik atau mencari cara lain?"
Dahulu sewaktu belum punya gelar, belum punya harta berlimpah, Acong tidak marah bila seseorang memanggil nama kecil atau nama panggilan, tanpa kata 'pak', tapi sekarang setelah menjadi doktor, emosi tersinggung sering sekali terbangun. Kalau tersinggung menjadi lebih sering bertamu dalam kehidupan setelah kita belajar banyak hal selama berpuluh tahun, maka kita perlu berhadapan dengan ego yang 'gila' hormat yang ada di dalam diri sendiri. Begitu pula ketika pulang dari tanah suci, apakah kita menjadi semakin menuntut, semakin ingin dihargai atau menjadi lebih welas asih?
Kalau kita ingin berbahagia sementara dalan keseharian kita termotivasi belajar agar bisa menjadi kaya dan akhirnya dihormati, tentu kita perlu memikirkan kembali apa itu bahagia. Seingat saya selama saya bersekolah, belum pernah ada mata pelajaran yang secara spesifik dan nyata mengajarkan kita bagaimana kita mencapai kebahagiaan, padahal itu adalah tujuan dari sebagian besar manusia. Kita telah diajarkan begitu banyak hal yang sama sekali tidak esensial untuk menjalani kehidupan agar penuh dengan kedamaian. Kita tidak banyak atau bahkan tidak pernah belajar mengenal emosi yang selalu melekat dalam diri dan bagaimana menghadapinya bila sedang membara. Selama ini guru atau orangtua sering meminta kita melupakan, memaafkan, tapi tidak diberi tahu caranya, Paling sering yang dilakukan adalah mengalihkannya atau dengan mengucap mantra mujarab 'sabar', yang artinya panjangnya 'dipendam saja di dalam, nanti juga lama-lama lupa'.
Di sekolah dan kampus kita diajarkan cara berkomunikasi pada orang lain, namun hal yang paling sering kita lakukan yaitu berkomunikasi pada diri sendiri tidak pernah disinggung. Padahal menurut pengalaman diri bahwa menyadari komunikasi internal pada apa yang terjadi dalam benak ketika kita marah atau sedih akan sangat membantu diri ini untuk melarutkan kemarahan.
Untuk itu bagi saya, mengenal diri selayaknya menjadi mata pelajaran wajib di sekolah manapun, dari mengenal tubuh, emosi, karakter, aktivitas mental sampai jiwa/ roh/ spirit atau inti di dalam.
Apa gunanya mempunyai ribuan sahabat namun tidak pernah bersahabat dengan diri sendiri, apa hebatnya mampu berkenalan dengan orang penting namun hal yang terpenting yaitu berkenalan dengan diri sendiri tidak pernah sekalipun.
Bukankah "Barangsiapa mengenal dirinya (nafsahu), ia mengenal Tuhannya"? (Man 'Arofa Nafsahu faqod 'Arofa Rabbahu)

No comments:

Post a Comment