edhie prayitno ige - Seorang lelaki berseragam loreng tentara terlihat melintas di jalan Pemuda Muntilan. Sebuah kota kecamatan di Kabupaten Magelang. Lelaki berseragam tentara ini mengendarai sebuah sepeda tua merk Raleigh buatan Nothingham Britania Raya, di tahun 1960-an.
Memasuki perempatan Tugu Wesi, lelaki berseragam loreng itu membelokkan sepedanya ke kanan. Masuk ke sebuah kampung bernama Beteng. Anehnya, di sepanjang jalan dari rumahnya di kampung Pulosari kecamatan Salam, sudah banyak orang yang menegurnya.
"Nengndi jo? Prei po piye? (kemana jo? Libur pa gimana)."
"Suwe ra ketok tak kiro lara jo. (lama nggak keliatan saya pikir sakit jo)"
"Wah gagahe. Saiki pangkate kolonel ya. (waduh gagahnya, sekarang sduah berpangkat kolonel ya)"
Dan masih banyak lagi seruan-seruan ramah. Marjo, sosok yang disapa lebih banyak menebar senyum. Tak ada yang bisa memastikan berapa usianya. Tapi ia selalu ada dan hadir di setiap warga yang memiliki hajat.
Marjo adalah sosok orang gila. Lalu mengapa orang gila saja ditulis?
Begini. Bagi warga Muntilan generasi tahun 80-90an, nyaris tak ada yang tidak kenal dengan nama Marjo. Popularitas Marjo mampu mengalahkan idola saat itu seperti Ikang Fawzi, Nike Ardilla, Nicky Astria, bahkan pejabat nasional sekelas menteri.
Popularitas Marjo melangit melebihi popularitas Bupati Magelang, atau bahkan gubernur Jawa Tengah saat itu. Anak-anak SMP dan SMA di seluruh Muntilan (saat itu jumlahnya lebih dari 10 sekolah) semuanya mengenal.
Marjo sangat lekat dengan denyut hidup warga Muntilan karena kehadirannya di setiap perhelatan. Baik perhelatan warga seperti sunatan, pernikahan atau perhelatan yang digelar sekolah, seperti perpisahan, kemah pramuka dan sejenisnya.
Bambang Anto, alumni SMAK Pendowo Muntilan menyebutkan, sosok Marjo membumi karena keramahannya. Selain itu ia juga ringan tangan, menolong siapapun yang membutuhkan.
"Hebatnya dia hapal Pancasila, UUD 1945 sebelum diamandemen, Dasa Dharma Pramuka, Tri Satya hingga 10 Program Pokok PKK," kata Anto, Minggu (17/4/2016).
Yang lebih istimewa, Marjo tidak sekedar hafal. Ia juga mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Dasa Dharma dan lain-lainnya itu dalam kesehariannya. Setidaknya, apa yang dia hafalkan poin demi poin dan pasal demi pasal, dicoba untuk menjadi dasar perilakunya.
Lucia Henny Christina, aktivis pramuka di Muntilan tahun 1989 menjelaskan, dulu dia sangat takut dengan Marjo. Namun setelah berinteraksi ternyata sangat ramah.
"Lagipula, ia sebenarnya ganteng," kata Henny.
"Marjo tak pernah diajak kemah. Tapi malamnya ia selalu sudah bergabung. Entah naik apa karena kadang kami kemah di luar kota," kata Hari Susanti.
"Saya sangat terkesan dengan gaya senyumnya yang khas saat hadir. Ia tahu diri. Meski membantu saat ada hajatan, tapi tak pernah minta makan. Bahkan kadang sudah diberi saja ia menolak," kata Sudaryoto warga Ngasem melalui akun medsosnya.
Kini ketika media sosial memotong ruang, popularitas Marjo tak surut. Bahkan seorang buruh migran asal desa Sucen mengaku sangat kenal dengan Marjo.
"Tak ada orang Salam dan Muntilan yang tak kenal Marjo," kata Yati melalui akun facebook Anisa Bunda Henny yang kini bermukim di Hongkong.
Bagi kalangan seniman, Marjo menjadi sosok inspiratif. Kaum seniman dan penggelisah hidup yang selalu mempertanyakan eksistensi dan hidup, seakan sepakat kalau Marjo bisa menjadi rujukan belajar ilmu ikhlas dan ketulusan.
Bayangkan saja, jika ada perhelatan Marjo sudah mengayuh sepeda tuanya sejak jam 05.00. Dia akan membantu menata kursi, menjaga parkir, menimba air, bahkan juga bisa menjadi suruhan jika ada kebutuhan mendadak. Dan semuanya itu dia lakukan tanpa ada tendensi imbalan.
Marjo tidak mau diberi makan sebelum pekerjaan yang diamanatkan beres. Ketika pekerjaan beres namun si pemberi amanat belum makan, ia juga tidak mau makan. Demikian pula dengan rokok. Ia tak mau merokok jika tak ditemani tuan rumah.
"Wong urip kuwi wang sinawang. Ono sing ketoke sugih jebule kere. Ono sing ketoke kere jebule... Tenan. (Hidup itu hanya saling memandang. Ada yang kelihatan kaya ternyata miskin. Ada yang kelihatan miskin ternyata... Beneran)," kata Marjo suatu ketika.
Ia memang gemar berfilsafat. Namun selalu saja ada yang diplesetkan dan menjadi lucu. Bahkan ia juga pernah berpesan secara khusus.
"Wong urip kuwi mung mampir ngguyu. Dadi uripo nganggo guyu tanpa ngasorake. (Orang hidup itu sekedar mampir tertawa. Maka hiduplah dengan tertawa tanpa merendahkan)," katanya pada saat yang lain.
Kini Marjo usianya semakin renta. Namun tak ada perubahan fisik menua yang terlihat. Tahun 2016 ini, ternyata fisik, wajah, rambut dan kebiasaannya berkeliling masih sama dengan awal tahun 1990 itu. Alumni SMAK Pendowo Muntilan yang sangat akrab dengan Marjo, rela menjadikan Marjo sebagai ikon pemersatu. Ditandai dengan memasang foto Marjo yang diedit menjadi Superman.
Sanking banyaknya penggemar, mereka yang berasal dari Muntilan dan kini menjadi diaspora, sering mengontak teman-temannya untuk sekedar minta dikirimi foto Marjo. Marjo memang gila. Namun ia mandi sehari bisa tiga sampai tujuh kali. Pakaiannya meski lusuh tak disetrika, namun selalu bersih.
Begitulah. Banyak orang gila di sekitar kita. Namun seberapa banyak kita mengenal mereka? Menangkap ide-ide dan kegelisahan mereka. Rata-rata mengaku takut. Takut jika mengamuk.
Orang gila selalu dicurigai merugikan oleh lingkungannya. Dicurigai mengamuk, suka menyerang. Banyak yang lupa kalau si gila itu juga manusia seperti kita.
Untuk hal ini, mari belajar pada warga Muntilan yang menempatkan sosok Marjo secara egaliter. Marjo, I Love You.
http://
No comments:
Post a Comment